Suara dari Sumur Belakang
“Suara dari Sumur Belakang”
Di belakang rumah nenek, ada sebuah sumur tua yang selalu ditutup rapat dengan papan kayu dan batu besar. Sejak kecil, Rani sudah dilarang mendekat ke sana. Katanya, sumur itu sudah tidak digunakan lagi sejak sebelum ibunya lahir. Tapi setiap malam, Rani sering mendengar suara seperti seseorang yang memanggil dari arah sumur itu—pelan, serak, dan seperti menahan tangis.
“Ran... tolong... airnya dingin sekali...”
Awalnya ia pikir hanya halusinasinya sendiri, karena rumah nenek memang berada di pinggir desa, jauh dari rumah lain. Tapi setelah malam ketiga, suara itu makin jelas. Bahkan kadang disertai bunyi cipratan air dan suara kuku yang menggaruk kayu penutup sumur. Ketika ia menceritakan hal itu pada nenek, perempuan tua itu langsung pucat.
“Kamu jangan jawab kalau ada yang manggil. Sekali pun. Paham?” katanya dengan nada gemetar. Rani mengangguk, meski di kepalanya muncul banyak pertanyaan. Mengapa harus takut pada suara? Dan kenapa sumur itu masih ada kalau memang tidak boleh didekati?
Malam berikutnya, listrik padam. Angin berhembus dari arah kebun pisang, membuat dedaunan bergesek menimbulkan suara seperti bisikan. Rani menyalakan lilin dan duduk di dekat jendela. Saat itu juga, suara itu datang lagi.
“Rani... kamu dengar aku, kan?”
Kali ini lebih jelas, lebih dekat, seperti berasal dari balik dinding dapur. Rani menahan napas. Ia tidak menjawab, mengingat pesan nenek. Tapi rasa ingin tahunya mulai mengalahkan rasa takut. Ia mengambil senter dan berjalan perlahan ke arah belakang rumah. Begitu sampai di dapur, ia mendengar bunyi tetesan air. “Tik... tik... tik...”
Lampu senter menyorot lantai yang basah. Ada jejak kaki, basah dan kecil, menuju ke arah pintu belakang. Jejak itu berhenti tepat di depan papan yang menutup sumur. Hening. Lalu... “Rani, tolong aku. Aku haus.”
Suaranya terdengar seperti suara anak kecil—mirip dirinya sendiri saat masih kecil. Senter di tangannya bergetar. Ia menunduk, menyorot celah papan. Gelap. Tapi ia merasa ada sesuatu yang bergerak di bawah sana, seperti tangan yang berusaha menjangkau cahaya. “Nenek...” bisiknya pelan, tapi suara itu tertelan angin.
Tiba-tiba papan penutup sumur bergeser sedikit. Dari celah sempit itu, keluar tangan putih pucat yang meneteskan air. Jari-jarinya kurus, kuku panjang, dan di pergelangan tangannya ada gelang manik-manik merah muda—gelang yang sama persis dengan yang Rani pakai. Rani mundur beberapa langkah, tapi kakinya terpeleset air dan jatuh. Ketika menatap ke arah sumur lagi, tangan itu sudah menghilang. Hanya tersisa papan yang sedikit terbuka dan suara air yang beriak pelan. Rani berlari masuk ke kamar nenek.
“Nek! Ada tangan di sumur!”
Nenek langsung bangun, wajahnya panik. Ia bergegas mengambil tasbih dan sebotol air di meja. “Kamu udah ngelihatnya?” Rani mengangguk cepat. Nenek menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Sudah waktunya kamu tahu.” Mereka duduk di ruang tengah yang remang. Nenek mulai bercerita dengan suara pelan.
“Dulu, sebelum kamu lahir, ibumu punya saudara kembar. Namanya Raina. Mereka main di halaman waktu itu, dan hujan turun deras. Raina jatuh ke dalam sumur. Kami cari berhari-hari, tapi jasadnya nggak pernah ditemukan.” Rani terpaku. Ia merasa dadanya sesak.
“Itu berarti... suara tadi—”
Nenek mengangguk. “Arwahnya belum tenang. Setiap tujuh tahun, ia memanggil orang yang punya darah sama dengannya.” Angin malam berembus lewat celah jendela, membuat lilin bergoyang. Tiba-tiba terdengar suara keras dari luar, seperti sesuatu jatuh ke tanah. Nenek menatap Rani. “Jangan keluar,” katanya tegas. Lalu ia menuju ke belakang rumah dengan langkah cepat.
Rani menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Tapi nenek tak kembali. Ia menahan diri sebisa mungkin, tapi rasa khawatir mengalahkan ketakutan. Ia akhirnya mengambil senter dan keluar lagi. Begitu sampai di sumur, papan penutupnya sudah tergeser lebar. Batu besar yang menindihnya tergeletak di tanah, dan air di dalam sumur bergolak, seperti sedang ada sesuatu yang berenang di dalamnya.
“Nenek?” panggilnya pelan. Tidak ada jawaban.
Ia menyorot ke dalam sumur. Di bawah sana, terlihat bayangan dua sosok. Yang satu seperti neneknya, berusaha naik ke permukaan. Yang satu lagi, lebih kecil, berambut panjang dan mengenakan baju putih basah, menarik kaki nenek ke bawah.
“Nenek!” Rani menjerit. Ia mendekat, berusaha menarik papan ke tempatnya, tapi tangan dingin mencengkeram pergelangan tangannya dari bawah.
“Kita kembar, Rani...” suara itu berbisik dari dalam sumur. “Kamu di atas terlalu lama. Sekarang gantian aku.”
Rani berteriak, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Ia sempat melihat wajah pucat itu naik ke permukaan, dan mata hitamnya yang kosong menatap lurus padanya. Lilin di dalam rumah padam bersamaan dengan suara air yang menggulung keras. Malam itu, warga sekitar mendengar jeritan dari arah rumah tua itu, tapi ketika mereka datang pagi harinya, rumah sudah kosong. Sumur di belakang rumah masih terbuka. Di tepinya, ada dua gelang manik-manik merah muda—identik, tergeletak berdampingan.
Comments
Post a Comment